SENANTIASA BAHAGIA DALAM TAAT MESKI TERASA BERAT

SENANTIASA BAHAGIA DALAM TAAT MESKI TERASA BERAT

#UmrahSyiarNovember2023

 

 

SENANTIASA BAHAGIA DALAM TAAT MESKI TERASA BERAT

(Catatan Perjalanan – Bagian 7)

 

Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor/Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023)

 

 

DI sela-sela pelaksanaan ibadah umrah bersama Syiar Travel, pembimbing kami, Al-Mukarram KH

Rohmat S Labib, beberapa kali mengingatkan jamaah umrah agar menjalani semua rangkaian kegiatan di Tanah Suci Makkah dan Madinah dengan penuh kesabaran. Sabar tak hanya saat umrah yang memang cukup melelahkan. Sabar juga harus selalu ada dalam jiwa saat menjalani seluruh rangkaian kegiatan di sela-sela umrah. Di antaranya dalam menapaktilasi perjuangan Baginda Rasulullah saw.

 

Pasalnya, kata KH Rochmat S Labib, semakin sukar/sulit dan semakin lelah menjalankan suatu amal shalih maka makin besar pahalanya.

 

Dalam istilah sebagian ulama dikatakan:

الأجرة بقد ر المشقة

Imbalan (pahala) itu bergantung pada tingkat kesulitan.

 

Karena makin sulit, pahalanya makin besar, maka memang sewajarnya kita selalu sabar dalam menjalankan amal yang berat. Di antaranya dalam menjalankan ibadah umrah. Bahkan–meminjam istilah Al-Mukarram KH Rahmat Kurnia, yang juga pembimbing umrah di Syiar Travel saat pembekalan-semua aktivitas ketaatan kepada Allah itu bukan sekadar harus dijalani dengan kesabaran, tetapi sekaligus harus dilakoni dengan penuh kebahagiaan. Intinya: senantiasa bahagia dalam taat meski terasa berat.

 

Jelas, umrah, termasuk ibadah haji, adalah ibadah yang cukup berat. Apalagi bagi mereka yang fisiknya sudah lemah, seperti kalangan lansia. Namun demikian, umrah maupun haji bukanlah ibadah yang terberat. Yang terberat tidak lain adalah jihad (perang) fi sabilillah. Karena itulah jihad sangat tidak disukai oleh sebagian orang. Pasalnya, jihad menuntut pengorbanan harta, mengerahkan segenap kemampuan fisik, meninggalkan keluarga dan yang pasti menyongsong kematian. Itulah mengapa Allah SWT mengingatkan kita:

 

كُتِ ب   علَيۡكُ  م ٱلۡقِ تا ل   و ه  و  كُرۡ ه  لَّكُمۡ     و ع ىسَ  أَن  تكۡ ر هو  ا  شيۡئً ا  و ه  و  خ   يۡ لَّكُمۡ     و ع ىسَ  أَن   تحِبُّو  ا  شيۡئً ا  و ه  و     شَ لَّكُمۡ      وٱ                                                                                                                                       لَّلّ   يعۡلَ  م  وأَن ت مۡ   ل  تعۡلَ مو ن

Telah diwajibkan atas kalian berperang, sementara perang itu sesuatu yang tidak kalian sukai. Boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu. Padahal sesuatu itu baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu. Padahal sesuatu itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 216).

 

Karena itulah bagi kaum beriman, seperti para Sahabat ra., jihad yang amat berat itu justru amal shalih yang senantiasa mereka rindukan.

 

***

 

Ya, umrah–termasuk haji dan jihad–adalah di antara “jalan kepayahan” yang justru menjadi pilihan orang-orang beriman.  Menempuh “jalan kepayahan” sebetulnya merupakan tradisi para salafush-shâlih. Bahkan jalan inilah yang sejak awal selalu ditempuh oleh Baginda Rasulullah saw. dan para Sahabat beliau.

Baginda Rasul, misalnya, dikenal selalu melewati malam-malamnya dengan shalat malam. Dalam banyak riwayat ditegaskan, kaki beliau sering bengkak-bengkak karena seringnya beliau berdiri lama dalam shalat-shalat malamnya. Saat Ummul Mukminin Aisyah ra. bertanya, mengapa beliau sampai harus bersusah-payah seperti itu, padahal beliau ma’shuum (terpelihara dari dosa), beliau malah balik bertanya dengan nada retoris:

 

أف ل أُحِبُّ  أ ن  أكُو ن   ع بدً ا  شكُورًا

“Tidak sepantasnyakah aku suka untuk menjadi hamba yang bersyukur (kepada Allah)?” (HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).

 

Tentu tidak hanya dalam beribadah. Menempuh  “jalan kepayahan” itu pula yang dilakukan Baginda Rasulullah saw. dalam sebagian besar episode dakwahnya. Bukan jalan aman dan nyaman. Betapa sering beliau memilih untuk dicibir, dihinakan, dicaci-maki, dilempari dengan kotoran dan batu. Bahkan tak jarang beliau diancam untuk dibunuh sebagai konsekuensi dari kesungguhan dan keistiqamahan beliau dalam dakwah beliau. Saat orang-orang kafir sudah hampir putus-asa menghalangi dakwah beliau, maka melalui paman beliau, mereka kemudian menawari beliau harta yang banyak, kedudukan yang tinggi, juga wanita-wanita cantik terpilih. Namun, semua kenyamanan hidup itu tak membuat hati beliau luruh sedikit pun. Beliau tetap bergeming. Beliau tetap memilih “jalan kepayahan”. Yang terucap dari lisan beliau yang mulia malah sebuah kalimat terkenal:

 

ي ا عم،  والل  ل و وضعو ا الشمس   ف  يمي  ن، والقم ر   ف  يساري على أن أترك هذ ا الأم ر ح ن  يظهره  الل،  أ و أهلك  فيه

”Paman, andai mereka sanggup menaruh matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan pernah melakukan itu, hingga Allah memenangkan agama (Islam) ini atau aku mati di dalamnya.” (HR Ibn Hisyam).

 

“Jalan kepayahan” pula yang ditempuh oleh para Sahabat beliau. Bilal bin Rabbah ra., misalnya, dalam keadaan punggungnya telanjang tanpa baju, ia rela dijemur di atas pasir, di bawah terik matahari yang menyengat, lalu ditindih dengan batu. Hal itu beliau jalani demi mempertahankan aqidahnya.

 

Yasir ra. rela dijerat lehernya dan Sumayyah (istrinya) ra. rela tubuhnya ditusuk dengan tombak hingga keduanya harus kehilangan nyawanya. Hal itu juga dilakukan oleh keduanya demi mempertahankan aqidahnya.

Mushab bin Umair ra. rela meninggalkan harta dan kemewahan serta memilih hidup menderita. Hal itu beliau lakukan demi dan untuk dakwah Islam. Hampir semua Sahabat Rasulullah saw. tak ragu untuk menggadaikan sebagian besar (bukan sebagian kecil) waktu, tenaga, harta bahkan nyawa mereka. Semua “jalan kepayahan” ini mereka tempuh tidak lain demi dan untuk Islam.

Apa dasarnya? Tidak lain dasarnya semata-mata liLaah (karena dan untuk Allah). Karena lilLaah dalam melakukan amal shalih apapun, mereka menjadi tak mudah lelah. Apalagi sampai berkeluh-kesah. Sikap demikian pantang bagi mereka. Yang ada, mereka malah senantiasa bahagia dalam taat meski sering terasa berat! Semoga kita bisa seperti mereka. Aamiin.

 

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah, ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib. []

 

 

(Pondok Putri Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor, 29/11/2023).

INDAHNYA KEBERSAMAAN DALAM KERAGAMAN

INDAHNYA KEBERSAMAAN DALAM KERAGAMAN

#UmrahSyiarNovember2023

 

 

INDAHNYA KEBERSAMAAN DALAM KERAGAMAN

(Catatan Perjalanan – Bagian 6)

 

Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor/Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023)

 

KERAGAMAN. Itulah yang pasti kami saksikan dan kami rasakan. Bahkan sebelum menginjakkan kaki di Tanah Suci. Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023 tentu datang dari berbagai latar belakang. Baik dari sisi asal daerah, suku dan bahasa. Juga dilihat dari sisi status sosial dan ekonomi. Sebabnya, tidak semua jamaah umrah orang-orang yang berpunya. Ada yang memang pengusaha sukses, tetapi juga ada yang hanya karyawan biasa. Ada yang mungkin berumrah tak hanya sekali karena ada kelebihan rejeki. Namun, sebagian mereka berumrah mungkin hasil dari menabung sekian lama. Sebagian lainnya lagi ada yang berumrah karena diumrahkan (dibiayai) oleh pihak lain yang memiliki kebaikan hati. Bukan karena memiliki banyak harta.

 

Keragaman juga datang dari sisi aliran/pemahaman/mazhab keagamaan. Bahkan mungkin dari sisi preferensi dan pilihan politik.  Namun demikian, Syiar Travel mampu mengelola keragaman jamaah umrahnya menjadi tampak indah. Menjadikan mereka bersatu. Guyub. Bahkan sangat terasa ikatan kekeluargaan yang amat kental. Tak ada sikap saling menyombongkan diri. Yang ada adalah sikap saling rendah hati. Tak ada sikap saling mendahului. Yang ada adalah saling berbagi. Tak ada sikap saling membiarkan. Yang ada adalah saling peduli.

 

Saat tiba di Tanah Suci–baik di jalanan, di Masjid Nabawi maupun Masjid al-Haram, termasuk saat menunaikan shalat atau ibadah umrah–keragaman umat Islam makin jelas terlihat. Dari sisi warna kulit ada yang putih, kemerahan, coklat, bahkan hitam. Dari sisi fisik ada yang tinggi, sedang ada yang pendek. Dari sisi rupa ada yang cantik/ganteng dan yang biasa saja. Dari sisi bahasa, etnik, suku bangsa, tradisi dan budaya pastinya juga berbeda-beda. Dari aspek aliran/pemahaman/mazhab keagamaan juga beragam. Misalnya saja dalam hal shalat sangat jelas terlihat. Beberapa aspek dalam shalat–saat takbir, saat memposisikan kedua tangan pasca takbir, saat i’tidal, saat duduk tahiyat akhir, dll–sering tampak berbeda.

 

Namun demikian, semua keragaman tersebut cukup disatukan oleh satu unsur mendasar dan penting, yakni aqidah Islam. Hanya dengan berpegang teguh pada aqidah Islam, pada ikatan ukhuwah islamiyah, juga pada adab al-ikhtilaaf,  keragaman menjadi tampak indah.

 

***

 

Saya membayangkan: Andai persatuan dan kesatuan umat Islam di Tanah Suci itu dibawa ke tanah air masing-masing saat mereka kembali pulang dari umrah maupun haji, harusnya tak perlu ada yang dikhawatirkan dari keragaman dan perbedaan yang ada di kalangan umat Islam.

 

Sayangnya, sepanjang sejarahnya, umat ini telah sering diuji dengan yang namanya perbedaan. Khususnya perbedaan  aliran/pemahaman/mazhab keagamaan. Adakalanya mereka lulus dari ujian perbedaan  pendapat tersebut. Adakalanya sebaliknya. Gagal. Kegagalan tersebut kadang berujung saling menyalahkan dan mengalahkan. Saling bertengkar. Saling mem-bully. Bahkan saling mempersekusi.

Padahal perbedaan yang terjadi seringnya hanya dalam masalah furuu’uddiin (cabang-cabang agama). Bukan dalam masalah ushuuluddiin (pokok-pokok agama).

 

Mengapa perbedaan pendapat dalam masalah furuu’ (cabang)  sering berujung pertikaian?  Tidak lain karena telah hilangnya adab al-ikhtilaaf (berbeda pendapat) di tengah-tengah kaum Muslim. Bukan saja di kalangan awamnya. Bahkan kerap terjadi di kalangan para tokoh (ulama)-nya. Tak ada lagi toleransi. Apalagi saling menghormati dalam perbedaan pendapat. Tak ada lagi proses tabayyun, musyawarah dan dialog. Tak ada lagi diskusi dan saling adu argumentasi seraya tetap saling bersikap rendah hati. Semua perbedaan seolah harus diakhiri dengan pertikaian.

 

Mereka seolah tak pernah belajar dari generasi salafush-shaalih, bagaimana santunnya mereka dalam menyikapi perbedaan pendapat. Kalaupun terjadi diskusi atau perdebatan, hal itu mereka lakukan secara elegan dengan tetap memperhatikan adab/akhlak. Tak saling mencela. Apalagi saling menista. Tak saling mem-bully. Apalagi saling mencaci. Tak saling menyalahkan. Apalagi saling menyesatkan/mengkafirkan. Tentu selama perbedaan mereka hanya menyangkut perkara-perkara cabang (furuu’iyyah).

 

Ukhuwah Islamiyah tetap mereka junjung tinggi. Sebaliknya, fanatisme (ashabiyah) mazhab, kelompok atau organisasi tak pernah terlintas di hati mereka sama sekali. Cobalah renungkan sekali ini. Di kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), misalnya, setidaknya ada empat mazhab terkemuka: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Para pendiri/imam mazhab tersebut sebagiannya bahkan guru dan murid. Imam Malik adalah guru Imam Syafii. Imam Syafi’i adalah guru Imam Ahmad bin Hanbal. Meski demikian, dalam banyak hal masing-masing punya pendapat sendiri-sendiri. Saling berbeda satu sama lain. Masing-masing juga punya banyak murid dan pengikut.

 

Namun, tak pernah terdengar bahwa mereka saling berkonflik, saling bertengkar fisik atau saling mempersekusi. Yang terjadi justru sebaliknya. Adab al-ikhtilaaf selalu mereka junjung tinggi. Tak jarang mereka saling memuji. Padahal sebelumnya mereka saling alot berdebat dan berdikusi. Dengan begitu perbedaan di antara mereka tampak indah. Sama sekali jauh dari aroma fitnah dan pecah-belah.

 

Tengoklah Imam Syafii rahimahulLaah, misalnya. Yunus bin Abdul Ala ash-Shadafi, salah seorang sahabat Imam Syafii, pernah bertutur:

Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Imam Syafii. Suatu hari aku pernah alot berdebat dengan beliau. Lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata, ”Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah?” (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalaa, 10/16-17).

 

Imam Syafii, dalam safarnya ke Irak, selama beberapa minggu, beliau menunaikan shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahulLaah tanpa melakukan qunut (sebagaimana mazhab beliau). Hal itu beliau lakukan semata-mata demi menghormati Imam Abu Hanifah yang berpendapat tidak ada qunut dalam shalat subuh. Padahal Imam Abu Hanifah telah lama wafat (Lihat: Ad-Dahlawi, AlInshaaf fii Bayaan Asbaab al-Ikhtilaaf, hlm. 110).

 

Para ulama Mazhab Syafii (juga beberapa ulama lain) berpendapat bahwa wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari Surat al-Fatihah. Namun demikian, mereka biasa shalat bermakmum di belakang para imam shalat di Kota Madinah yang bermazhab Maliki. Padahal para imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Surat al-Fatihah, baik pelan maupun keras (Lihat: AdDahlawi, Al-Inshaaf fii Bayaan Asbaab al-Ikhtilaaf, hlm.  109).

 

Imam Syafii, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, pernah berpesan, “Jika kalian menjumpai dalam kitabku sesuatu yang menyalahi Sunnah Rasul saw. maka ambillah Sunnah Rasul tersebut dan tinggalkanlah pendapatku.”

 

Dengar juga pesan Imam Malik bin Anas rahimahulLaah, guru Imam Syafii, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, yang dinukil dalam Kitab Al-Manaar (4/572), “Sungguh aku adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu, perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah, ambillah. Sebaliknya, setiap pendapatku yang menyalahi alQuran dan as-Sunnah, tinggalkanlah!”

Perhatikan pula Imam Abu Hanifah rahimahulLaah. Sebagaimana diceritakan oleh Imam Syaukani, yang dinukil dalam Kitab Al-Qawl al-Mufiid (hlm. 23), Imam Abu Hanifah pernah ditanya oleh salah seorang muridnya tentang bagaimana sikap yang harus dilakukan jika ternyata fatwa atau hasil ijtihad beliau di kemudian hari menyalahi al-Quran atau as-Sunnah? Beliau tegas menjawab, “Tinggalkanlah pendapatku!”

 

Dalam menghadapi perbedaan pendapat, Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahulLaah juga bersikap, ”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan di antara para ulama fikih, aku tidak pernah melarang seorang pun di antara murid-muridku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada.” (Lihat: Al-Khathib alBaghdadi, Al-Faqiih wa al-Mutafaqqih,_ 2/69).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Qadhi Abu Utsman al-Baghdadi–meskipun termasuk ulama besar dan hakim mazhab Maliki–sering  mengunjungi Imam ath-Thahawi yang bermazhab Hanafi untuk menyimak karya-karya beliau (Lihat: Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Maqaalaat al-Kawtsari, hlm.

348).

 

Para ulama dulu bahkan pantang menggunakan kekuasaan duniawi untuk memonopoli dan memaksa pikiran orang banyak agar bersedia menerima pendapat (mazhab)-nya. Imam Malik, misalnya, ketika

Khalifah Harun al-Rasyid bermaksud mendekritkan kitabnya, Al-Muwaththa, dan Mazhab Maliki sebagai “mazhab resmi negara” yang harus dianut oleh seluruh warganya, beliau amat berkeberatan dan meminta agar Khalifah jangan melakukan hal itu (Lihat: Ibnu Abdil Barr, Jaami Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi, hlm. 209-210).

Adab para ulama dulu dalam menyikapi ikhtilaf/perbedaan pendapat terangkum dalam pernyataan Imam Yahya bin Said al-Anshari yang berkata, “Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap. Mereka sering berbeda pendapat sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun, mereka tidak pernah saling mencela satu sama lain.” (Lihat: Ibnu Abdil Barr, Jaami Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi, hlm, 393).

 

Terakhir, menarik apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulLaah, ”Andai setiap kali dua orang Muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan saling memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikit pun ikatan ukhuwah islamiyah di antara mereka.” (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmuu’ al-Fatawaa, 24/173).

 

Alhasil, jika para ulama–bahkan para mujtahid–terkemuka pada masa lalu begitu santun dan indah dalam menyikapi perbedaan pendapat, lantas siapalah kita–yang jelas-jelas bukan ulama besar apalagi mujtahid seperti mereka–jika kita tidak meneladani adab mereka dalam perbedaan pendapat?!

 

Yuk, saatnya kita bersatu. Tinggalkan ego mazhab, organisasi, pilihan politik dll yang bisa memecah-belah umat. Apalagi menjelang Pemilu 2024 yang suasananya makin terasa panas menyengat. Jangan sampai ukhuwah islamiyah dikorbankan hanya demi kepentingan sempit dan sesaat.

 

Wa maa tawfîiqii illaa bilLaah, ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[]

 

 

(Pondok Putra Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor, 29/11/2023)

MENATAP GUA TSUR, MEMBAYANGKAN BETAPA BESARNYA CINTA RASULULLAH KEPADA KITA

MENATAP GUA TSUR, MEMBAYANGKAN BETAPA BESARNYA CINTA RASULULLAH KEPADA KITA

#UmrahSyiarNovember2023

 

 

MENATAP GUA TSUR, MEMBAYANGKAN BETAPA BESARNYA CINTA RASULULLAH KEPADA KITA

(Catatan Perjalanan – Bagian 5)

 

Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor/Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023)

 

DENGAN diantar oleh Ustadz Mahfud, seorang muthawwif yang luar biasa serta selalu setia dan antusias mendampingi kami, rombongan Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023 berkesempatan mampir ke lokasi dekat Gua Tsur.

Gua Tsur yang juga dikenal sebagai Jabal Tsur itu terletak sekitar 7 km dari Makkah ke arah Thaif. Letak persisnya berada di salah satu puncak gunung Jabal Tsur yang sangat terjal dan dipenuhi bebatuan. Mengutip dari buku 1001 Fakta Dahsyat Mukjizat Kota Mekkah karya Asima Nur Salsabila, Gua Tsur memiliki tinggi 1,25 m, panjang 3,5 m dan lebar sebesar 3,5 m. Bentuk Gua Tsur seperti wajan yang ditelungkupkan.

Berbeda dengan Gua Hira, Gua Tsur berada di ketinggian sekira 1.400 meter. Dua kali lipat lebih tinggi daripada ketinggian Gua Hira yang ada di Jabal Nur. Memang tingkat kemiringan jalan menuju Gua Tsur atau Jabal Tsur lebih landai. Kira-kira hanya 45 derajat. Namun demikian, dengan ketinggian 1.400 meter, ditambah dengan jalan yang sepenuhnya bebatuan bercadas, pendakian menuju Gua Tsur tetap bukan hal yang mudah. Pastinya amat melelahkan. Juga membutuhkan waktu yang tak sedikit.

Karena waktu yang sempit,  pimpinan rombongan jamaah kami memutuskan untuk tidak mendaki Jabal Tsur. Kami cukup menatap Jabal Tsur yang cukup menjulang tinggi itu dari bawah. Dari jarak yang cukup jauh. Namun demikian, penjelasan pembimbing umrah kami, KH Rochmat S. Labib, ditambahkan dengan pemaparan muthawwif kami, Ustadz Mahfud, yang cukup menguasai sejarah tempat-tempat bersejarah di Makkah dan Madinah, cukup membuat kami merenungkan banyak hal. Di antaranya adalah betapa seluruh perjuangan dan pengorbanan Rasulullah saw. sangat luar biasa. Bahkan dengan sekadar menatap ketinggian Jabal Tsur saja–yang mana Rasulullah saw. mendaki ke atasnya, pastinya dengan usah-payah–kita bisa membayangkan betapa kerasnya perjuangan dan pengorbanan Rasulullah saw. Apalagi pendakian Jabal Tsur itu dibayang-bayangi dengan ancaman pembunuhan dari orang-orang kafir Quraisy yang terus mengejar beliau.

Itu baru secuil kisah terkait Gua Tsur. Belum kisah-kisah lain yang tak kalah memilukan. Misalnya,  kasus Baginda Rasulullah saw. dilempari dengan batu hingga terluka kakinya serta diusir dari Thaif.  Kisah beliau yang terluka dalam Perang Uhud. Saat itu gigi graham beliau patah dan bibir bawah robek terkena panah. Dahi dan kening beliau pun berlumuran darah. Juga sejumlah kisah lain yang tak kalah menyedihkan. Semua itu beliau jalani dengan penuh kesabaran dan ketabahan.

 

Semua itu tentu demi menyelamatkan umat manusia dari lembah kesesatan. Rasulullah saw. sangat ingin agar umat beliau seluruhnya masuk surga. Jangan sampai seorang pun diazab di neraka. Semua itu tentu karena kecintaan beliau yang amat besar kepada umat manusia.

 

Karena itu wajar jika kita, yang mengklaim umat beliau, juga mencurahkan segenap cinta kita kepada beliau. Bahkan cinta kita kepada beliau adalah bukti bahwa kita mengimani beliau. Inilah yang juga beliau tegaskan:

 

لَ يُؤْمِنُ  أَحَدُكُمْ  حَتَّ  أَكُونَ  أَحَبّ  إِلَيْهِ  مِنْ  وَالِدِهِ  وَوَلَدِهِ  وَالنّا  س أَجْمَعِ  يَ

Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga kalian menjadikan aku lebih ia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia (HR al-Bukhari).

 

Dalam bahasa Abu Abdillah al-Qusyari dikatakan:

 

حَقِيْقَة الْمَحَبّةِ  أَنْ  تَهَبَ   كُلَّكَ  لِمَنْ  أَحْبَبْتَ  فَ ل يَبْ قََ لَك مِنْكَ  شَ ئ تْْ

Hakikat cinta adalah engkau memberikan semua yang ada pada dirimu kepada orang yang engkau cintai hingga tidak tersisa sedikit pun untukmu (Al-Qusyairi, Risaalah Qusyayriyyah, hlm. 479).

 

Namun demikian, cinta bukan sekadar klaim. Cinta butuh pembuktiaan.  Qadhi ‘Iyadh menyatakan:

 

اِعْلَمْ  أَنّ  مَنْ  اَحَبّ  شَيْئً ا اَثَرَهُ  وَاَثَرَهُ  مُوَافَقَتُهُ  وَإِ لّ لَمْ  يَكُنْ  صَادِقً ا  فِِْ  حُبِّهِ

Ketahuilah bahwa siapa saja yang (mengklaim) mencintai sesuatu (termasuk seseorang) maka ada tandanya. Tanda tersebut bersesuaian dengan kadar cintanya. Jika tidak ada buktinya maka tak benar klaim cintanya (Ats-Tsa’alabi, Al-Jawaahir al-Hasan fîi Tafsîir al-Qur’aan, 1/200).

 

Bukti paling otentik dari cinta adalah taat kepada orang yang dicintai. Dalam bahasa Imam Syafi’i dikatakan:

 

لَ وْ  كانَ  حُبُّكَ  صَادِق اً لأَطَعْتَهُ  # إنّ  الْمُحِبّ  لِمَنْ  يُحِبُّ  مُطِيعُ

Jika cintamu benar, tentu engkau akan mentaati Baginda Nabi saw./Sungguh pecinta itu, kepada orang yang dia cintai, akan selalu taat.

Pertanyaannya: Sudahkah kita benar-benar tulus mencintai Baginda Rasulullah saw. sebagaimana besarnya cinta beliau kepada kita? Jawabannya berpulang pada sejauh mana kita mentaati beliau. Mentaati beliau tidak lain dengan mengamalkan syariah yang beliau bawa, seluruhnya dan bukan sebagiannya; baik dalam urusan ibadah, muamalah, politik, pemerintahan, hukum, peradilan, dll.

 

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. []

 

 

(Pondok Putra Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor, 29/11/2023)

GUA HIRA DAN PERJUANGAN MENCARI PETUNJUK ILAHI

GUA HIRA DAN PERJUANGAN MENCARI PETUNJUK ILAHI

#UmrahSyiarNovember2023

 

GUA HIRA DAN PERJUANGAN MENCARI PETUNJUK ILAHI

(Catatan Perjalanan – Bagian 4)

 

Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor/Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023)

 

ALHAMDULILLAH, salah satu “benefit” dari perjalanan umrah yang difasilitasi Syiar Travel adalah berkunjung ke tempat-bersejarah Islam. Salah satunya adalah Gua Hira. Disebut “benefit” sebab kami,  jamaah umrah Syiar Travel, merasa sangat beruntung karena mendapatkan pelajaran yang amat berharga dari pendakian penuh tantangan menuju Gua Hira.

Sebagaimana diketahui, Gua Hira berada di atas puncak Jabal Nur. Lokasinya terletak sekira 6 kilometer sebelah utara Masjid al-Haram. Jabal Nur memiliki tinggi sekitar 642 meter. Tingkat kemiringannya 60-70 derajat. Cukup curam. Ada sekitar 1500 anak tangga yang harus dilewati untuk menuju puncak bukit hingga mencapai Gua Hira. Wajar jika waktu tempuh pendakian untuk mencapai Gua Hira bisa 1-2 jam. Cukup melelahkan. Membuat napas acapkali tersengal-sengal.  Menjadikan lutut terasa sakit dan kaki pegal-pegal. Itulah yang saya rasakan dan mungkin sebagian jamaah yang lain. Terutama yang usia sudah di atas 50 tahun seperti saya.

 

Segera saya membayangkan bagaimana dulu Muhammad saw.–sebelum menerima wahyu–berjalan mendaki bukit yang curam itu dengan menapaki bebatuan bercadas. Jika tak hati-hati kemungkinan terpeleset dan jatuh terpelanting ke bawah cukup besar. Tentu karena saat itu belum dibuatkan anak tangga seperti sekarang yang jauh lebih memudahkan pendakian. Yang luar biasa, pendakian bukit yang terjal dan berbahaya tersebut dilakukan oleh Muhammad saw. tak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Bolakbalik naik-turun.

Begitulah yang dilakukan Muhammad saw. Tujuannya, sebagaimana disinggung dalam Kitab Ar-Rahiiq AlMakhtuum karya Syaikh Saifur Rahman al-Mubarakduri, adalah dalam rangka mencari petunjuk Ilahi. Ini karena saat itu Muhammad saw.–sebelum menerima wahyu Allah SWT–mengalami semacam “kegelisahan spiritual”. Pasalnya, beliau menyaksikan kondisi masyarakatnya yang sudah lama dipenuhi dengan kesyirikan dan dekadensi moral seperti: pemujaan terhadap berhala, riba dan zina/pelacuran, berjudi, mengurangi timbangan, bahkan membunuh bayi-bayi perempuan yang baru lahir yang tentu tak berdosa.

Karena itu boleh jadi kepergian Muhammad saw. saat itu ke Gua Hira berkali-kali untuk menyepi, berkontemplasi dan mencari petunjuk itu dimaksudkan agar beliau tak terbawa arus destruktif masyarakatnya sekaligus demi mencari solusi bagaimana cara memperbaiki kondisi masyarakatnya yang rusak tersebut.

***

Apa ibrah di balik aktivitas Muhammad saw.–sebelum menerima wahyu–untuk pergi bersusah-payah ke Gua Hira?

Pertama: Menunjukkan betapa kerasnya perjuangan Muhammad saw. untuk mencari petunjuk Ilahi di tengah-tengah masyarakatnya yang rusak.

 

Kedua: Sejak Muhammad saw. menerima wahyu Allah SWT yang pertama kali di Gua Hira (QS al-‘Alaq: 15), lalu berturut-turut wahyu berikutnya turun kepada beliau selama berangsur-angsur selama 23 tahun di Makkah dan Madinah, maka lengkaplah petunjuk Allah SWT kepada Rasulullah saw–tentu juga untuk umat beliau–dalam wujud al-Quran yang kita baca hari ini.

Dengan demikian, sebagai umat Rasulullah saw. sebetulnya kita sudah sangat enak. Tak butuh perjuangan keras untuk mencari petunjuk sebagaimana beliau. Al-Quran sebagai hud[an] (petunjuk) sudah tersedia. Tinggal ambil, baca, amalkan isinya, tegakkan semua aturannya, berlakukan seluruh syariahnya untuk mengatur semua aspek kehidupan kita. Niscaya kehidupan kita  bakal beres, menjadi baik dan pasti mendatangkan keberkahan. Itulah yang namanya rahmat.  Allah SWT berfirman:

 

وَلَقَ  د جِ ئنََٰ هُم بِكِتََٰ  ب  فَصَّلۡنََٰ  هُ عَلََٰ  عِلۡ م  هُدًى وَرَ حمَةً  لِّقَ  و م  يُؤمِنُونَ

Sungguh, Kami telah mendatangkan Kitab (al-Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum Mukmin (QS al-A’raf [7]: 52).

Sayangnya, tak semua orang berpikir demikian. Faktanya, saat ini banyak orang, khususnya umat Islam, malah mencari petunjuk selain al-Quran untuk mengatur kehidupan mereka. Buktinya, hari ini petunjuk wahyu–yakni al-Quran, juga as-Sunnah–mereka abaikan. Hukim-hukumnya tak ditegakkan. Syariahnya tak diberlakukan untuk mengatur kehidupan. Umat Islam hari ini lebih memilih aturan kehidupannya dari ideologi Kapitalisme maupun Sosialisme. Bukan dari ideologi Islam yang bersumber dari al-Quran.

Di bidang ekonomi, misalnya, jelas mereka lebih memilih sistem ekonomi kapitalis berbasis riba. Bukan sistem ekonomi Islam. Di bidang politik/pemerintahan, mereka lebih memilih sistem demokrasi. Bukan sistem politik/pemerintahan Islam, yakni sistem Khilafah, yang diwariskan Baginda Rasulullah saw.

 

Demikian pula di bidang pendidikan, sosial, hukum, dll. Mereka lebih memilih sistem pendidikan, sosial, hukum, dll yang sekuler. Bukan pendidikan, sosial, hukum, dll yang berasal dari Islam. Jika demikian keadaannya, sangat wajar jika Baginda Rasulullah saw.–yang kepada beliaulah al-Quran turun-mengadukan kepada Allah SWT umat beliau yang tega-teganya mencampakkan al-Quran yang beliau bawa. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh al-Quran sendiri:

وَقَالَ  ٱلرَّسُولُ  يََٰ رَ ب  إِنَّ  قَ ومِِ  ٱ تَّخَذُو  ا هََٰ ذَ ا ٱ لۡقُ رءَانَ  مَ هجُورٗا

Berkatalah Rasul, ”Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikan al-Quran ini suatu yang diabaikan.” (QS al-Furqan [25]: 30).

Menurut Imam Ibnu Katsir di antara sikap mengabaikan al-Quran itu–selain jarang membaca dan mentadabburi-nya–adalah tidak mengamalkan isinya dan tidak mau mengambil hukum-hukum yang ada di dalamnya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 2/631).

 

Karena itu sungguh aneh ada manusia  yang sudah diberi petunjuk  (yakni al-Quran) oleh Pencipta mereka untuk mengatur kehidupan mereka, tetapi mereka malah mengambil aturan lain buatan makhluk (ciptaan)-Nya. Yang lebih aneh lagi ada umat Islam yang membenci syariah Islam–yang berarti membenci al-Quran–untuk diterapkan dalam mengatur kehidupan mereka. Padahal jelas firman Allah SWT dalam al-Quran:

 

وَمَ ن  أَ عرَضَ  عَ  ن ذِ كرِي فَإِنَّ  لَ هُ مَعِيشَةً  ضَ نكً ا وَنَ حشُُُهُ  يَ ومَ  ا لقِيَامَةِ  أَ ع مََٰ

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).

Sayangnya, kesempitan hidup sesungguhnya sudah lama kita rasakan. Khususnya di negeri ini. Semua ini adalah akibat kita berpaling dari al-Quran. Jadi, jika memang kita, khususnya umat Islam di negeri ini, ingin supaya kehidupan kita menjadi lapang, mengapa kita tidak segara kembali pada al-Quran?! Mengapa kita tidak segera memperjuangkan tegaknya al-Quran, yakni dengan menegakkan seluruh syariahnya, khususnya di negeri in?!

 

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. []

 

(Ditulis sesaat setelah tiba di rumah dari kepulangan umrah bersama Syiar Travel, 27/11/2023).

BUKAN “UMRAH BIASA”

BUKAN “UMRAH BIASA”

#UmrahSyiarNovember2023

 

 

BUKAN “UMRAH BIASA”

(Catatan Perjalanan – Bagian 3)

 

Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor/Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023)

 

JUDUL besarnya memang umrah. Namun demikian, Syiar Travel sesungguhnya tak hanya memfasilitasi perjalanan umrah para jamaahnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Manajemen Syiar Travel, setidaknya ada tiga target utama yang ingin diwujudkan dalam setiap program umrah: Pertama, meraih umrah mabrurah. Kedua, memahami perjuangan Rasulullah saw. Ketiga, mewujudkan keluarga samara atau-dalam istilah KH Rochmat S. Labib–keluarga “asmara” (as-sakiinah, al-mawaddah, wa ar-rahmah).

 

Pertama, meraih umrah mabrurah. Karena umrah adalah agenda utama, dengan target umrah mabrurah, Syiar Travel benar-benar bertanggung jawab untuk membekali para jamaahnya–terutama yang masih awam–dengan pengetahuan fiqih umrah yang cukup memadai. Di sinilah tampak peran penting pembimbing kami, KH Rochmat S Labib, dalam menjelaskan hal-ihwal seputar fiqih umrah secara jelas/terang dan mudah dipahami. Termasuk saat beliau menjelaskan beberapa aspek furuu’ dari ibadah umrah yang acapkali memunculkan ikhtilaaf (perbedaan di kalangan ulama). Tampak jelas kepiawaian beliau–yang juga penulis kitab Ushul Fiqih yang berjudul Al-Mukhtaar fii Ushuul Fiqh dan buku Tafsir AlWaie (3 jilid) –dalam menjelaskan pendapat yang menurut beliau paling raajih (kuat).

 

Dengan demikian di tengah perbedaan pandangan fiqih seputar umrah, jamaah merasa mantap untuk mengamalkan pendapat yang dianggap paling raajih (kuat) tersebut.

Sebelum itu, KH Dr. Rahmat Kurnia sejak awal membekali jamaah jamaah dari sisi ruhiyah (spiritual) seperti pentingnya menata hati dengan meluruskan motivasi/niat berumrah, selalu berprasangka baik kepada Allah, berusaha selalu sabar dan ridha, membangun kebersamaan di antara jamaah, berupaya bahagia dalam menjalankan setiap ketaatan dan pentingnya perubahan ke arah yang lebih baik pasca umrah. Perubahan ke arah yang lebih baik itulah sejatinya tanda dari umrah yang mabrurah.  Sebabnya, umrah mabrurah seharusnya tidak berbeda dengan haji mabrur. Haji mabrur sendiri memiliki sejumlah tanda. Demikian sebagaimana kata al-Hasan, “Haji mabrur adalah ia yang kembali dari berhaji menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia dan rindu terhadap akhirat.” (As-Suyuthi, Durr al-Mantsuur, I/473; al-Qurthubi, Tafsiir al-Qurthubi, II/408).

Imam al-Hasan ra. pernah ditanya, “Apa ciri haji mabrur?” Beliau pun menjawab, “Orang yang kembali dari menunaikan ibadah haji itu menjadi zuhud terhadap dunia dan selalu merindukan akhirat (surga).” (Abu Thalib al-Makki, Quut al-Quluub, II/44).

Hal yang sama ditegaskan oleh Imam al-Ghazali. Kata beliau, ciri-ciri haji mabrur itu adalah pelakunya (saat kembali dari menunaikan ibadah haji) menjadi orang yang zuhud terhadap dunia,  selalu rindu terhadap akhirat (surga) dan senantiasa berusaha mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Pemilik Ka’bah (Allah SWT) setelah berjumpa dengan Ka’bah *(Al-Ghazali, Ihyaa’ ‘Uluum ad-Dîin, I/272).

Hemat penulis, tanda-tanda haji mabrur tersebut seharusnya tidak jauh berbeda dengan tanda-tanda umrah mabrurah. Pelakunya sama-sama berubah ke arah yang lebih baik: lebih zuhud, lebih wara’, lebih sabar, lebih bersyukur, lebih taat, lebih istiqamah dalam ketaatan kepada Allah, dst.

 

Kedua, memahami perjuangan Rasulullah saw. Ini adalah salah satu aspek keunggulan lain dari Syiar Travel sekaligus “benefit” yang dirasakan oleh jamaahnya. Pengalaman para jamaah dalam mengunjungi secara langsung tempat-tempat bersejarah di Makkah dan Madinah–seperti Masjid Quba, Masjid Nabawi, Maqam Baqi’, Jabal Uhud, Jabal Nur, Gua Hira, Jabal Tsur, Jabal Rahmah dll–benar-benar meninggalkan kesan yang mendalam. Pasalnya, semua tempat-tempat bersejarah tersebut dijelaskan dengan baik oleh pembimbing kami dari sisi historis maupun ibrah (hikmah)-nya. Kedua sisi ini tentu tidak lepas dari–bahkan bertumpu pada–sosok Baginda Rasulullah saw. sebagai “aktor utama” dari berbagai peristiwa yang menyertai keberadaan tempat-tempat bersejarah tersebut (Beberapa ibrah dari hasil kunjungan ke tempat-tempat tersebut insya Allah akan dijelaskan pada tulisan berikutnya).

 

Ketiga, mewujudkan keluarga “asmara”. Ini tentu target unik sekaligus serius dari Syiar Travel. Unik, karena jarang sekali perjalanan umrah dikaitkan dengan target mewujudkan keluarga “asmara” bagi jamaah umrah. Serius, karena sepertinya Syiar Travel siap dengan program bimbingan keluarga “asmara” pasca umrah. Semoga saja demikian. Sebabnya, salah satu pembimbing jamaah Syiar Travel adalah KH Dr. Rahmat Kurnia, yang memang dikenal sebagai pakar keluarga “asmara”. Alhasil, dengan ketiga target utama di atas, para jamaah umrah Syiar Travel akan merasakan sendiri bahwa perjalanan umrahnya memang bukan perjalanan “umrah biasa”.

 

WalLaahu a’lam. []

 

(Ditulis dalam penerbangan dari Abu Dhabi menuju Jakarta, 26/11/2023).

IBADAH UMRAH DAN SIKAP WARA’

IBADAH UMRAH DAN SIKAP WARA’

#UmrahSyiarNovember2023

 

IBADAH UMRAH DAN SIKAP WARA’

(Catatan Perjalanan – Bagian 2)

 

Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor/Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023)

 

SEBAGAI salah satu travel umrah dan haji yang profesional, Syiar Travel benar-benar menyediakan para pembimbing yang “mumpuni”. Para pembimbing  umrah kami di Syiar Travel Umrah dan Haji benarbenar bisa menjelaskan secara terang-benderang segala hal yang terkait dengan umrah. Tak hanya aspek fiqih umrah yang memang amat penting, sebagaimana dipaparkan dengan sangat jelas dan tegas oleh AlMukarram KH Rochmat S. Labib. Aspek spiritual (ruhiyah) umrah juga tentu sangat menentukan, sebagaimana dijelaskan secara mengesankan Al-Mukarram KH Dr. Rahmat Kurnia. Di luar itu, tentu aspek teknis yang secara detil dijelaskan oleh Ustadz H Gus Uwik dan Ustadz H Abdullah Fanani juga harus diperhatikan. Semuanya benar-benar harus diperhatikan oleh jamaah haji atau umrah.

 

Karena itulah  berkali-kali dan terus-menerus para pembimbing Syiar Travel mengingatkan, terutama aspek fiqih dan aspek spiritual (ruhiyah). Aspek fiqih tentu terkait dengan syarat, rukun, hal-hal yang wajib ataupun sunnah umrah. Tentu juga perkara-perkara yang bisa membatalkan umrah dll.

Aspek ruhiyah terkait antara lain dengan keikhlasan dalam niat/motivasi umrah, selalu berprasangka baik kepada Allah, sabar dan tawakal dalam menjalani segala tantangan saat umrah, dll.

Terpenuhinya dua aspek inilah–aspek fiqih maupun aspek ruhiyah–yang bisa menentukan ibadah umrah menjadi umrah yang mabruurah/maqbuulah (diterima oleh Allah SWT).

Terus-terang, mendapatkan penjelasan yang terang-benderang ini, para  jamaah umrah tentu menjadi sangat berhati-hati di sepanjang pelaksanaan ibadah umrah. Tentu karena mereka sangat khawatir, jika tidak hati-hati, ibadah umrah mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Karena itu sejauh mungkin mereka berusaha keras agar tidak melakukan kesalahan sedikit pun yang bisa merusak  bahkan membatalkan ibadah umrah mereka.

***

Pembaca yang budiman, khususnya Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023, sikap berusaha keras untuk selalu berhati-hati seharusnya tak hanya ditunjukkan dalam pelaksanaan ibadah haji atau umrah. Sikap selalu  berhati-hati juga harus selalu dimiliki setiap Muslim dalam menjalani kehidupan ini. Dalam bahasa agama, itulah yang disebut dengan sikap wara’. Wara’ kurang-lebih bermakna: sikap hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam dosa sekecil apapun.

 

Saking pentingnya sikap wara’ sehingga dikatakan:

 

وخ  ي دينكم الورع

“Sebaik-baik agama kalian adalah sikap wara’ (menjaga diri dari dosa).” (Zuhair Ibn Harb, Al-‘Ilm, hlm. 8).

 

Sikap wara’ inilah yang senantiasa dipraktikkan oleh generasi salafush-shalih. Di antaranya adalah Imam Abu Hanifah rahimahulLaah. Dikisahkan, Imam Abu Hanifah pernah menahan diri tidak memakan daging kambing. Hal itu beliau lakukan setelah mendengar bahwa ada seekor kambing milik tetangganya dicuri. Beliau melakukan itu selama beberapa tahun sesuai dengan usia kehidupan kambing pada umumnya hingga diperkirakan kambing itu telah mati (Syu’aib bin Saad al-Harifis, Ar-Rawdh al-Faiq, hlm. 215).

 

Boleh jadi Imam Abu Hanifah bertindak demikian karena beliau khawatir–tanpa sepengetahuannya-kambing itu diperjualbelikan di tengah-tengah masyarakat. Lalu ia tidak sengaja memakan daging sembelihan kambing curian tersebut.  Begitulah Imam Abu Hanifah. Beliau memiliki sikap wara’ (kehatihatian terjatuh ke dalam dosa) yang luar biasa. Sikap wara’ tentu muncul dari besarnya rasa takut  kepada Allah SWT.

Rasa takut kepada Allah SWT akan melahirkan sikap wara’ (hati-hati), tidak saja terhadap perkaraperkara yang haram, tetapi juga terhadap perkara-perkara yang syubhat. Semoga ibadah umrah bersama Syiar Travel kali ini benar-benar menumbuhkan sikap wara’ (hati-hati) kita terhadap semua yang haram maupun yang syubhat dalam menjalani kehidupan ini.

 

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah’ alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []

 

(Dalam perjalanan di atas bis menuju bandara untuk kepulangan kembali ke Tanah Air. Jeddah, 26/11/2023).

BEKAL PERJALANAN

BEKAL PERJALANAN

#UmrahSyiarNovember2023

 

BEKAL PERJALANAN

(Catatan Perjalanan – Bagian 1)

 

Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor/Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023)

 

BANYAK Muslim pernah melakukan perjalanan jauh dan panjang. Seperti melakukan safar ke luar negeri. Misalnya saja untuk melakukan haji atau umrah. Alhamdulillah, tahadduts bin-ni’mah, saya sendiri baru pertama kali melaksanakan kegiatan umrah, pada bulan November 2023 ini.

Bagi sebagian orang, terutama yang sudah berkali-kali umrah, setiap perjalanan umrah pasti meninggalkan kesan yang berbeda-beda. Namun, yang pasti, bagi siapapun yang umrah untuk pertama kalinya kesannya pasti sama: Luar biasa! Allahu Akbar!

Ini juga yang saya rasakan. Apalagi dengan menggunakan salah satu jasa travel terbaik di Indonesia: Syiar Travel Umrah dan Haji. Para pembimbingnya luar biasa. Muthawwif-nya gesit, lincah, tangkas, berani, tegas, tapi lucu. Juga yang pasti sangat amanah dan bertanggung jawab. Pelayananan Syiar Travel juga amat memuaskan. Tentu dengan segala fasilitas yang istimewa.

Namun demikian, tulisan bersambung ini (insya Allah) tidak dalam rangka meng-endorse “Syiar” (sebagai travel umrah dan haji), namun demi “meng-endorse syiar dalam makna yang sebenarnya, yakni: syiar Islam. Kalaupun via tulisan ini Syiar Travel Umrah dan Haji pimpinan sahabat saya  Gus Uwik, ini makin terkenal, ya Alhamdulillah. Berarti Syiar Travel makin berkah. Aamiin.

***

Pembaca yang budiman, khususnya  Alumni Jamaah Umrah  Syiar Travel November 2023, siapapun yang akan menempuh perjalanan (safar), apalagi perjalanan jauh, lama dan melelahkan, tentu akan melakukan banyak persiapan. Apalagi jika perjalanan jauh dan lama tersebut baru dilakukan untuk pertama kalinya.

Upaya mempersiapkan bekal untuk perjalanan jauh dan lama kadang dilakukan jauh-jauh hari. Untuk perjalanan ibadah haji yang rata-rata cuma sebulan saja, persiapannya bisa berbulan-bulan. Bahkan persiapan tersebut bisa bertahun-tahun kalau memperhitungkan faktor lain. Misalnya, karena harus menabung selama puluhan tahun sampai bisa memenuhi segala biaya/ongkos perjalanan ke Tanah Suci.

Saking tak ingin ada yang ketinggalan, sebelum safar, sering setiap item perbekalan dicatat dan dicek ulang. Tak terbayangkan, misalnya, kalau pas berangkat untuk menunaikan haji atau umrah, pas sudah sampai di bandara, paspor atau visa ternyata tertinggal di rumah. Mana rumahnya jauh di luar kota, sementara waktu pun sudah sangat sempit. Tak akan cukup untuk mengambil surat yang sangat penting tersebut. Alhasil, rencana perjalanan haji pun bisa gagal. Yang ada tinggal penyesalan yang amat dalam. Bayangan bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci dan memandang Ka’bah secara langsung pun kandas.

Karena itu sudah pasti setiap calon jemaah haji atau umrah akan memastikan—bahkan berkali-kali—halhal penting untuk dibawa. Jangan sampai ada satu pun yang tertinggal. Demikianlah, setiap orang yang akan melakukan safar/perjalanan jauh—seperti ibadah haji atau umrah—benar-benar akan mempersiapkan bekal secara sungguh-sungguh dan optimal.

***

Itu hanya berkaitan dengan perjalanan/safar di dunia, seperti ibadah haji atau umrah, yang sangat singkat. Segala perbekalan benar-benar dipersiapkan dengan sungguh-sungguh dan optimal.

Pertanyaannya: Pernahkah kita membayangkan, bagaimana dengan “perjalanan” yang sangat jauh, sangat lama dan sangat panjang; yakni perjalanan menuju akhirat? Sebuah perjalanan pasca kematian yang satu harinya sama dengan seribu tahun? Demikian sebagaimana firman Allah SWT:

 

وَإِ ن  يَوْمً ا عِن دَ رَبِّكَ   كَأَلْفِ  سَنَ ة  مِّ م ا تَعُدُّونَ

Sungguh satu hari (di akhirat) di sisi Allah setara dengan seribu tahun (di dunia) menurut perhitungan kalian (QS al-Hajj: 47).

Apakah setiap Muslim benar-benar dan sungguh-sungguh mempersiapkan bekal secara optimal untuk melakukan perjalanan menuju Allah SWT di akhirat kelak yang amat panjang tersebut? Rasa-rasanya tidak semuanya. Bahkan mungkin hanya sebagian kecil yang benar-benar mempersiapkan bekal untuk perjalanan akhiratnya. Apa bekal untuk perjalanan akhirat? Tidak lain adalah takwa. Bahkan takwa adalah satu-satunya bekal terbaik (khayr zaad) dalam perjalanan panjang menuju Allah SWT. Allah SWT berfirman:

 

وَتَزَ ودُوْ ا فَاِ ن  خَ  يَْ ال    زا دِ التقْوٰ ى وَاتقُوْنِ  يٰٰٓاُولِ  الَْْلْبَابِ

Berbekallah kalian karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Karena itu bertakwalah kalian kepada Diri-Ku, wahai orang-orang yang berakal (QS al-Baqarah [2]: 197).

Ya, satu-satunya bekal menuju surga-Nya di akhirat adalah takwa. Bukan harta, kecuali yang disedekahkan/diinfakkan atau diwakafkan. Bukan jabatan, kecuali yang digunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Bukan kekuasaan, kecuali yang diemban dengan amanah untuk melayani segala urusan/kepentingan umat, menegakkan syariah-Nya, menolong agama-Nya, serta mengemban dakwah dan jihad fi sabillah.

Di sinilah masalahnya. Banyak orang yang ternyata tidak benar-benar mempersiapkan bekal untuk menuju surga-Nya. Saat seseorang di akhirat nanti tidak membawa takwa (karena di dunia hanya sedikit melakukan amal-amal shalih dan malah melakukan banyak dosa), alamat dia akan gagal masuk surga. Saat itulah, banyak orang—yang telah mati—akan benar-benar menyesal. Sebabnya, saat mati, ia baru benar-benar menyadari, amal-amal yang dia lakukan saat di dunia amat sedikit, sementara dosa-dosa yang dia perbuat begitu banyak.

Saat demikian, ia benar-benar berangan-angan ingin kembali ke dunia. Ingin hidup kembali meski hanya sesaat. Untuk apa? Tentu untuk bisa bertobat sekaligus bersungguh-sungguh taat. Demikian sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahulLaah:

 

أَ ن  الْمَوْ تَ   كُلَّهُمْ  يَتَمَ نوْنَ  حَيَا ة  سَاعَة لِيَتُوْبُوْ ا فِيْهَا ، وَيَجْتَهِدُوْ ا   فِِ ال طاعَةِ، وَ لَْ سَبِيْلَ  لَهُمْ  إِ لَ ذَلِكَ

Sungguh kebanyakan orang-orang yang telah diwafatkan berangan-angan bisa hidup kembali meski hanya sesaat saja agar bisa bertobat dan bersungguh-sungguh melakukan ketaatan. Padahal hal demikian adalah mustahil bagi mereka (Ibnu Rajab, Lathaa’if al-Ma’aarif, hlm. 727).

Mengapa tobat? Sebabnya, surga tentu hanya akan dimasuki oleh orang-orang yang  suci dari dosa. Karena itu kata-kata Imam Ibnu al-Jauzi rahimahullLaah patut kita renungkan. Kata beliau:

 

يَ ا طَالِبَ  الْجَ نةِ، أُخْرِجَ  أَبُوْكَ  آَدَ مُ مِنْهَ ا بِذَنْ ب  وَاحِ  د أَتَطْمَعُ   فِِ  دُخُوْلِه اَ بِذُنُوْ  ب لَمْ  تَتُبْ  عَنْهَا؟

Wahai engkau yang mengejar surga, sungguh Bapak kalian, Adam as., telah dikeluarkan dari surga hanya karena satu dosa. Lalu pantaskah engkau berambisi masuk ke dalam surga dengan membawa banyak dosa yang tidak segera engkau tobati?! (Ibnu al-Jauziy, At-Tabshirah, 1/326).

Karena itu orang yang bertakwa akan banyak bertobat. Ia pun tak pernah menunda-nunda tobat. Sebabnya, ia menyadari kematian datang selalu tiba-tiba. Tak pernah menunggu-nunggu orang untuk bertobat lebih dulu. Karena itu benar apa yang dinasihatkan oleh Lukmanul Hakim kepada putranya, “Nak, janganlah engkau menunda-nunda tobat karena sungguh kematian itu datang tiba-tiba.” (AlBaihaqi, Tahdziib az-Zuhd al-Kabiir, hlm. 137).

 

Karena itulah, kata Imam Ibnu Rajab al-Hanbali:

 

تأخ  ي ال توْبَةِ   فِِ  حَالِ  ال شبَا بِ قَبِيْحٌ ، فَ فِِ  حَالِ  الْمَشِيْبِ  أَقْبَحُ  وَأَقْبَحُ

“Menunda-nunda tobat saat usia muda itu sangat buruk.  Jauh lebih buruk lagi menunda-nunda tobat saat usia sudah tua.” (Ibnu Rajab, Lathaa’if al-Ma’aarif, hlm. 737).

Setelah tobat, berikutnya adalah berusaha selalu taat. Mengapa? Tidak lain karena hanya orang yang taat—dengan melakukan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya—yang pantas masuk surga. Karena itu benar apa yang dinyatakan oleh Malik bin Dinar ra.:

 

اِتخِ ذْ طَاعَة الله تِجَارَة  تَأْتِكَ  اْلأَرْباحُ  مِنْ  غَ  يِ بِضَاعَ  ة

“Jadikanlah ketaatan kepada Allah sebagai perniagaan (bisnis) yang mendatangkan laba/keuntungan (di akhirat kelak) tanpa (harus menjual) barang dagangan.” (Ibnu Hibban, Rawdhah al-Uqalaa, hlm. 63).

Banyak bertobat dan selalu berusaha taat kepada Allah SWT itulah ciri orang yang bertakwa. Tinggal bagaimana agar takwa itu selalu dibawa—di manapun, kapan pun dan dalam keadaan bagaimana pun— hingga ajal menjemput setiap manusia.

Semoga saja kita diberi taufik oleh Allah SWT untuk selalu bersungguh-sungguh dan bekerja keras mempersiapkan bekal takwa, demi sebuah perjalanan panjang di akhirat kelak. Sebabnya, hanya dengan bekal takwalah kita akan bisa memasuki surga-Nya.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. []

 

(Dalam perjalanan di atas bis dari Makkah menuju Jeddah, Sabtu 25/11/2023).