#UmrahSyiarNovember2023
MENATAP GUA TSUR, MEMBAYANGKAN BETAPA BESARNYA CINTA RASULULLAH KEPADA KITA
(Catatan Perjalanan – Bagian 5)
Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor/Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023)
DENGAN diantar oleh Ustadz Mahfud, seorang muthawwif yang luar biasa serta selalu setia dan antusias mendampingi kami, rombongan Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023 berkesempatan mampir ke lokasi dekat Gua Tsur.
Gua Tsur yang juga dikenal sebagai Jabal Tsur itu terletak sekitar 7 km dari Makkah ke arah Thaif. Letak persisnya berada di salah satu puncak gunung Jabal Tsur yang sangat terjal dan dipenuhi bebatuan. Mengutip dari buku 1001 Fakta Dahsyat Mukjizat Kota Mekkah karya Asima Nur Salsabila, Gua Tsur memiliki tinggi 1,25 m, panjang 3,5 m dan lebar sebesar 3,5 m. Bentuk Gua Tsur seperti wajan yang ditelungkupkan.
Berbeda dengan Gua Hira, Gua Tsur berada di ketinggian sekira 1.400 meter. Dua kali lipat lebih tinggi daripada ketinggian Gua Hira yang ada di Jabal Nur. Memang tingkat kemiringan jalan menuju Gua Tsur atau Jabal Tsur lebih landai. Kira-kira hanya 45 derajat. Namun demikian, dengan ketinggian 1.400 meter, ditambah dengan jalan yang sepenuhnya bebatuan bercadas, pendakian menuju Gua Tsur tetap bukan hal yang mudah. Pastinya amat melelahkan. Juga membutuhkan waktu yang tak sedikit.
Karena waktu yang sempit, pimpinan rombongan jamaah kami memutuskan untuk tidak mendaki Jabal Tsur. Kami cukup menatap Jabal Tsur yang cukup menjulang tinggi itu dari bawah. Dari jarak yang cukup jauh. Namun demikian, penjelasan pembimbing umrah kami, KH Rochmat S. Labib, ditambahkan dengan pemaparan muthawwif kami, Ustadz Mahfud, yang cukup menguasai sejarah tempat-tempat bersejarah di Makkah dan Madinah, cukup membuat kami merenungkan banyak hal. Di antaranya adalah betapa seluruh perjuangan dan pengorbanan Rasulullah saw. sangat luar biasa. Bahkan dengan sekadar menatap ketinggian Jabal Tsur saja–yang mana Rasulullah saw. mendaki ke atasnya, pastinya dengan usah-payah–kita bisa membayangkan betapa kerasnya perjuangan dan pengorbanan Rasulullah saw. Apalagi pendakian Jabal Tsur itu dibayang-bayangi dengan ancaman pembunuhan dari orang-orang kafir Quraisy yang terus mengejar beliau.
Itu baru secuil kisah terkait Gua Tsur. Belum kisah-kisah lain yang tak kalah memilukan. Misalnya, kasus Baginda Rasulullah saw. dilempari dengan batu hingga terluka kakinya serta diusir dari Thaif. Kisah beliau yang terluka dalam Perang Uhud. Saat itu gigi graham beliau patah dan bibir bawah robek terkena panah. Dahi dan kening beliau pun berlumuran darah. Juga sejumlah kisah lain yang tak kalah menyedihkan. Semua itu beliau jalani dengan penuh kesabaran dan ketabahan.
Semua itu tentu demi menyelamatkan umat manusia dari lembah kesesatan. Rasulullah saw. sangat ingin agar umat beliau seluruhnya masuk surga. Jangan sampai seorang pun diazab di neraka. Semua itu tentu karena kecintaan beliau yang amat besar kepada umat manusia.
Karena itu wajar jika kita, yang mengklaim umat beliau, juga mencurahkan segenap cinta kita kepada beliau. Bahkan cinta kita kepada beliau adalah bukti bahwa kita mengimani beliau. Inilah yang juga beliau tegaskan:
لَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّ أَكُونَ أَحَبّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنّا س أَجْمَعِ يَ
Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga kalian menjadikan aku lebih ia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia (HR al-Bukhari).
Dalam bahasa Abu Abdillah al-Qusyari dikatakan:
حَقِيْقَة الْمَحَبّةِ أَنْ تَهَبَ كُلَّكَ لِمَنْ أَحْبَبْتَ فَ ل يَبْ قََ لَك مِنْكَ شَ ئ تْْ
Hakikat cinta adalah engkau memberikan semua yang ada pada dirimu kepada orang yang engkau cintai hingga tidak tersisa sedikit pun untukmu (Al-Qusyairi, Risaalah Qusyayriyyah, hlm. 479).
Namun demikian, cinta bukan sekadar klaim. Cinta butuh pembuktiaan. Qadhi ‘Iyadh menyatakan:
اِعْلَمْ أَنّ مَنْ اَحَبّ شَيْئً ا اَثَرَهُ وَاَثَرَهُ مُوَافَقَتُهُ وَإِ لّ لَمْ يَكُنْ صَادِقً ا فِِْ حُبِّهِ
Ketahuilah bahwa siapa saja yang (mengklaim) mencintai sesuatu (termasuk seseorang) maka ada tandanya. Tanda tersebut bersesuaian dengan kadar cintanya. Jika tidak ada buktinya maka tak benar klaim cintanya (Ats-Tsa’alabi, Al-Jawaahir al-Hasan fîi Tafsîir al-Qur’aan, 1/200).
Bukti paling otentik dari cinta adalah taat kepada orang yang dicintai. Dalam bahasa Imam Syafi’i dikatakan:
لَ وْ كانَ حُبُّكَ صَادِق اً لأَطَعْتَهُ # إنّ الْمُحِبّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيعُ
Jika cintamu benar, tentu engkau akan mentaati Baginda Nabi saw./Sungguh pecinta itu, kepada orang yang dia cintai, akan selalu taat.
Pertanyaannya: Sudahkah kita benar-benar tulus mencintai Baginda Rasulullah saw. sebagaimana besarnya cinta beliau kepada kita? Jawabannya berpulang pada sejauh mana kita mentaati beliau. Mentaati beliau tidak lain dengan mengamalkan syariah yang beliau bawa, seluruhnya dan bukan sebagiannya; baik dalam urusan ibadah, muamalah, politik, pemerintahan, hukum, peradilan, dll.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. []
(Pondok Putra Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor, 29/11/2023)