INDAHNYA KEBERSAMAAN DALAM KERAGAMAN

INDAHNYA KEBERSAMAAN DALAM KERAGAMAN

#UmrahSyiarNovember2023

 

 

INDAHNYA KEBERSAMAAN DALAM KERAGAMAN

(Catatan Perjalanan – Bagian 6)

 

Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor/Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023)

 

KERAGAMAN. Itulah yang pasti kami saksikan dan kami rasakan. Bahkan sebelum menginjakkan kaki di Tanah Suci. Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023 tentu datang dari berbagai latar belakang. Baik dari sisi asal daerah, suku dan bahasa. Juga dilihat dari sisi status sosial dan ekonomi. Sebabnya, tidak semua jamaah umrah orang-orang yang berpunya. Ada yang memang pengusaha sukses, tetapi juga ada yang hanya karyawan biasa. Ada yang mungkin berumrah tak hanya sekali karena ada kelebihan rejeki. Namun, sebagian mereka berumrah mungkin hasil dari menabung sekian lama. Sebagian lainnya lagi ada yang berumrah karena diumrahkan (dibiayai) oleh pihak lain yang memiliki kebaikan hati. Bukan karena memiliki banyak harta.

 

Keragaman juga datang dari sisi aliran/pemahaman/mazhab keagamaan. Bahkan mungkin dari sisi preferensi dan pilihan politik.  Namun demikian, Syiar Travel mampu mengelola keragaman jamaah umrahnya menjadi tampak indah. Menjadikan mereka bersatu. Guyub. Bahkan sangat terasa ikatan kekeluargaan yang amat kental. Tak ada sikap saling menyombongkan diri. Yang ada adalah sikap saling rendah hati. Tak ada sikap saling mendahului. Yang ada adalah saling berbagi. Tak ada sikap saling membiarkan. Yang ada adalah saling peduli.

 

Saat tiba di Tanah Suci–baik di jalanan, di Masjid Nabawi maupun Masjid al-Haram, termasuk saat menunaikan shalat atau ibadah umrah–keragaman umat Islam makin jelas terlihat. Dari sisi warna kulit ada yang putih, kemerahan, coklat, bahkan hitam. Dari sisi fisik ada yang tinggi, sedang ada yang pendek. Dari sisi rupa ada yang cantik/ganteng dan yang biasa saja. Dari sisi bahasa, etnik, suku bangsa, tradisi dan budaya pastinya juga berbeda-beda. Dari aspek aliran/pemahaman/mazhab keagamaan juga beragam. Misalnya saja dalam hal shalat sangat jelas terlihat. Beberapa aspek dalam shalat–saat takbir, saat memposisikan kedua tangan pasca takbir, saat i’tidal, saat duduk tahiyat akhir, dll–sering tampak berbeda.

 

Namun demikian, semua keragaman tersebut cukup disatukan oleh satu unsur mendasar dan penting, yakni aqidah Islam. Hanya dengan berpegang teguh pada aqidah Islam, pada ikatan ukhuwah islamiyah, juga pada adab al-ikhtilaaf,  keragaman menjadi tampak indah.

 

***

 

Saya membayangkan: Andai persatuan dan kesatuan umat Islam di Tanah Suci itu dibawa ke tanah air masing-masing saat mereka kembali pulang dari umrah maupun haji, harusnya tak perlu ada yang dikhawatirkan dari keragaman dan perbedaan yang ada di kalangan umat Islam.

 

Sayangnya, sepanjang sejarahnya, umat ini telah sering diuji dengan yang namanya perbedaan. Khususnya perbedaan  aliran/pemahaman/mazhab keagamaan. Adakalanya mereka lulus dari ujian perbedaan  pendapat tersebut. Adakalanya sebaliknya. Gagal. Kegagalan tersebut kadang berujung saling menyalahkan dan mengalahkan. Saling bertengkar. Saling mem-bully. Bahkan saling mempersekusi.

Padahal perbedaan yang terjadi seringnya hanya dalam masalah furuu’uddiin (cabang-cabang agama). Bukan dalam masalah ushuuluddiin (pokok-pokok agama).

 

Mengapa perbedaan pendapat dalam masalah furuu’ (cabang)  sering berujung pertikaian?  Tidak lain karena telah hilangnya adab al-ikhtilaaf (berbeda pendapat) di tengah-tengah kaum Muslim. Bukan saja di kalangan awamnya. Bahkan kerap terjadi di kalangan para tokoh (ulama)-nya. Tak ada lagi toleransi. Apalagi saling menghormati dalam perbedaan pendapat. Tak ada lagi proses tabayyun, musyawarah dan dialog. Tak ada lagi diskusi dan saling adu argumentasi seraya tetap saling bersikap rendah hati. Semua perbedaan seolah harus diakhiri dengan pertikaian.

 

Mereka seolah tak pernah belajar dari generasi salafush-shaalih, bagaimana santunnya mereka dalam menyikapi perbedaan pendapat. Kalaupun terjadi diskusi atau perdebatan, hal itu mereka lakukan secara elegan dengan tetap memperhatikan adab/akhlak. Tak saling mencela. Apalagi saling menista. Tak saling mem-bully. Apalagi saling mencaci. Tak saling menyalahkan. Apalagi saling menyesatkan/mengkafirkan. Tentu selama perbedaan mereka hanya menyangkut perkara-perkara cabang (furuu’iyyah).

 

Ukhuwah Islamiyah tetap mereka junjung tinggi. Sebaliknya, fanatisme (ashabiyah) mazhab, kelompok atau organisasi tak pernah terlintas di hati mereka sama sekali. Cobalah renungkan sekali ini. Di kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), misalnya, setidaknya ada empat mazhab terkemuka: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Para pendiri/imam mazhab tersebut sebagiannya bahkan guru dan murid. Imam Malik adalah guru Imam Syafii. Imam Syafi’i adalah guru Imam Ahmad bin Hanbal. Meski demikian, dalam banyak hal masing-masing punya pendapat sendiri-sendiri. Saling berbeda satu sama lain. Masing-masing juga punya banyak murid dan pengikut.

 

Namun, tak pernah terdengar bahwa mereka saling berkonflik, saling bertengkar fisik atau saling mempersekusi. Yang terjadi justru sebaliknya. Adab al-ikhtilaaf selalu mereka junjung tinggi. Tak jarang mereka saling memuji. Padahal sebelumnya mereka saling alot berdebat dan berdikusi. Dengan begitu perbedaan di antara mereka tampak indah. Sama sekali jauh dari aroma fitnah dan pecah-belah.

 

Tengoklah Imam Syafii rahimahulLaah, misalnya. Yunus bin Abdul Ala ash-Shadafi, salah seorang sahabat Imam Syafii, pernah bertutur:

Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Imam Syafii. Suatu hari aku pernah alot berdebat dengan beliau. Lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata, ”Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah?” (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalaa, 10/16-17).

 

Imam Syafii, dalam safarnya ke Irak, selama beberapa minggu, beliau menunaikan shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahulLaah tanpa melakukan qunut (sebagaimana mazhab beliau). Hal itu beliau lakukan semata-mata demi menghormati Imam Abu Hanifah yang berpendapat tidak ada qunut dalam shalat subuh. Padahal Imam Abu Hanifah telah lama wafat (Lihat: Ad-Dahlawi, AlInshaaf fii Bayaan Asbaab al-Ikhtilaaf, hlm. 110).

 

Para ulama Mazhab Syafii (juga beberapa ulama lain) berpendapat bahwa wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari Surat al-Fatihah. Namun demikian, mereka biasa shalat bermakmum di belakang para imam shalat di Kota Madinah yang bermazhab Maliki. Padahal para imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Surat al-Fatihah, baik pelan maupun keras (Lihat: AdDahlawi, Al-Inshaaf fii Bayaan Asbaab al-Ikhtilaaf, hlm.  109).

 

Imam Syafii, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, pernah berpesan, “Jika kalian menjumpai dalam kitabku sesuatu yang menyalahi Sunnah Rasul saw. maka ambillah Sunnah Rasul tersebut dan tinggalkanlah pendapatku.”

 

Dengar juga pesan Imam Malik bin Anas rahimahulLaah, guru Imam Syafii, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, yang dinukil dalam Kitab Al-Manaar (4/572), “Sungguh aku adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu, perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah, ambillah. Sebaliknya, setiap pendapatku yang menyalahi alQuran dan as-Sunnah, tinggalkanlah!”

Perhatikan pula Imam Abu Hanifah rahimahulLaah. Sebagaimana diceritakan oleh Imam Syaukani, yang dinukil dalam Kitab Al-Qawl al-Mufiid (hlm. 23), Imam Abu Hanifah pernah ditanya oleh salah seorang muridnya tentang bagaimana sikap yang harus dilakukan jika ternyata fatwa atau hasil ijtihad beliau di kemudian hari menyalahi al-Quran atau as-Sunnah? Beliau tegas menjawab, “Tinggalkanlah pendapatku!”

 

Dalam menghadapi perbedaan pendapat, Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahulLaah juga bersikap, ”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan di antara para ulama fikih, aku tidak pernah melarang seorang pun di antara murid-muridku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada.” (Lihat: Al-Khathib alBaghdadi, Al-Faqiih wa al-Mutafaqqih,_ 2/69).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Qadhi Abu Utsman al-Baghdadi–meskipun termasuk ulama besar dan hakim mazhab Maliki–sering  mengunjungi Imam ath-Thahawi yang bermazhab Hanafi untuk menyimak karya-karya beliau (Lihat: Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Maqaalaat al-Kawtsari, hlm.

348).

 

Para ulama dulu bahkan pantang menggunakan kekuasaan duniawi untuk memonopoli dan memaksa pikiran orang banyak agar bersedia menerima pendapat (mazhab)-nya. Imam Malik, misalnya, ketika

Khalifah Harun al-Rasyid bermaksud mendekritkan kitabnya, Al-Muwaththa, dan Mazhab Maliki sebagai “mazhab resmi negara” yang harus dianut oleh seluruh warganya, beliau amat berkeberatan dan meminta agar Khalifah jangan melakukan hal itu (Lihat: Ibnu Abdil Barr, Jaami Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi, hlm. 209-210).

Adab para ulama dulu dalam menyikapi ikhtilaf/perbedaan pendapat terangkum dalam pernyataan Imam Yahya bin Said al-Anshari yang berkata, “Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap. Mereka sering berbeda pendapat sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun, mereka tidak pernah saling mencela satu sama lain.” (Lihat: Ibnu Abdil Barr, Jaami Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi, hlm, 393).

 

Terakhir, menarik apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulLaah, ”Andai setiap kali dua orang Muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan saling memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikit pun ikatan ukhuwah islamiyah di antara mereka.” (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmuu’ al-Fatawaa, 24/173).

 

Alhasil, jika para ulama–bahkan para mujtahid–terkemuka pada masa lalu begitu santun dan indah dalam menyikapi perbedaan pendapat, lantas siapalah kita–yang jelas-jelas bukan ulama besar apalagi mujtahid seperti mereka–jika kita tidak meneladani adab mereka dalam perbedaan pendapat?!

 

Yuk, saatnya kita bersatu. Tinggalkan ego mazhab, organisasi, pilihan politik dll yang bisa memecah-belah umat. Apalagi menjelang Pemilu 2024 yang suasananya makin terasa panas menyengat. Jangan sampai ukhuwah islamiyah dikorbankan hanya demi kepentingan sempit dan sesaat.

 

Wa maa tawfîiqii illaa bilLaah, ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[]

 

 

(Pondok Putra Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor, 29/11/2023)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *