#UmrahSyiarNovember2023
SENANTIASA BAHAGIA DALAM TAAT MESKI TERASA BERAT
(Catatan Perjalanan – Bagian 7)
Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor/Jamaah Umrah Syiar Travel November 2023)
DI sela-sela pelaksanaan ibadah umrah bersama Syiar Travel, pembimbing kami, Al-Mukarram KH
Rohmat S Labib, beberapa kali mengingatkan jamaah umrah agar menjalani semua rangkaian kegiatan di Tanah Suci Makkah dan Madinah dengan penuh kesabaran. Sabar tak hanya saat umrah yang memang cukup melelahkan. Sabar juga harus selalu ada dalam jiwa saat menjalani seluruh rangkaian kegiatan di sela-sela umrah. Di antaranya dalam menapaktilasi perjuangan Baginda Rasulullah saw.
Pasalnya, kata KH Rochmat S Labib, semakin sukar/sulit dan semakin lelah menjalankan suatu amal shalih maka makin besar pahalanya.
Dalam istilah sebagian ulama dikatakan:
الأجرة بقد ر المشقة
Imbalan (pahala) itu bergantung pada tingkat kesulitan.
Karena makin sulit, pahalanya makin besar, maka memang sewajarnya kita selalu sabar dalam menjalankan amal yang berat. Di antaranya dalam menjalankan ibadah umrah. Bahkan–meminjam istilah Al-Mukarram KH Rahmat Kurnia, yang juga pembimbing umrah di Syiar Travel saat pembekalan-semua aktivitas ketaatan kepada Allah itu bukan sekadar harus dijalani dengan kesabaran, tetapi sekaligus harus dilakoni dengan penuh kebahagiaan. Intinya: senantiasa bahagia dalam taat meski terasa berat.
Jelas, umrah, termasuk ibadah haji, adalah ibadah yang cukup berat. Apalagi bagi mereka yang fisiknya sudah lemah, seperti kalangan lansia. Namun demikian, umrah maupun haji bukanlah ibadah yang terberat. Yang terberat tidak lain adalah jihad (perang) fi sabilillah. Karena itulah jihad sangat tidak disukai oleh sebagian orang. Pasalnya, jihad menuntut pengorbanan harta, mengerahkan segenap kemampuan fisik, meninggalkan keluarga dan yang pasti menyongsong kematian. Itulah mengapa Allah SWT mengingatkan kita:
كُتِ ب علَيۡكُ م ٱلۡقِ تا ل و ه و كُرۡ ه لَّكُمۡ و ع ىسَ أَن تكۡ ر هو ا شيۡئً ا و ه و خ يۡ لَّكُمۡ و ع ىسَ أَن تحِبُّو ا شيۡئً ا و ه و شَ لَّكُمۡ وٱ لَّلّ يعۡلَ م وأَن ت مۡ ل تعۡلَ مو ن
Telah diwajibkan atas kalian berperang, sementara perang itu sesuatu yang tidak kalian sukai. Boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu. Padahal sesuatu itu baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu. Padahal sesuatu itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 216).
Karena itulah bagi kaum beriman, seperti para Sahabat ra., jihad yang amat berat itu justru amal shalih yang senantiasa mereka rindukan.
***
Ya, umrah–termasuk haji dan jihad–adalah di antara “jalan kepayahan” yang justru menjadi pilihan orang-orang beriman. Menempuh “jalan kepayahan” sebetulnya merupakan tradisi para salafush-shâlih. Bahkan jalan inilah yang sejak awal selalu ditempuh oleh Baginda Rasulullah saw. dan para Sahabat beliau.
Baginda Rasul, misalnya, dikenal selalu melewati malam-malamnya dengan shalat malam. Dalam banyak riwayat ditegaskan, kaki beliau sering bengkak-bengkak karena seringnya beliau berdiri lama dalam shalat-shalat malamnya. Saat Ummul Mukminin Aisyah ra. bertanya, mengapa beliau sampai harus bersusah-payah seperti itu, padahal beliau ma’shuum (terpelihara dari dosa), beliau malah balik bertanya dengan nada retoris:
أف ل أُحِبُّ أ ن أكُو ن ع بدً ا شكُورًا
“Tidak sepantasnyakah aku suka untuk menjadi hamba yang bersyukur (kepada Allah)?” (HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).
Tentu tidak hanya dalam beribadah. Menempuh “jalan kepayahan” itu pula yang dilakukan Baginda Rasulullah saw. dalam sebagian besar episode dakwahnya. Bukan jalan aman dan nyaman. Betapa sering beliau memilih untuk dicibir, dihinakan, dicaci-maki, dilempari dengan kotoran dan batu. Bahkan tak jarang beliau diancam untuk dibunuh sebagai konsekuensi dari kesungguhan dan keistiqamahan beliau dalam dakwah beliau. Saat orang-orang kafir sudah hampir putus-asa menghalangi dakwah beliau, maka melalui paman beliau, mereka kemudian menawari beliau harta yang banyak, kedudukan yang tinggi, juga wanita-wanita cantik terpilih. Namun, semua kenyamanan hidup itu tak membuat hati beliau luruh sedikit pun. Beliau tetap bergeming. Beliau tetap memilih “jalan kepayahan”. Yang terucap dari lisan beliau yang mulia malah sebuah kalimat terkenal:
ي ا عم، والل ل و وضعو ا الشمس ف يمي ن، والقم ر ف يساري على أن أترك هذ ا الأم ر ح ن يظهره الل، أ و أهلك فيه
”Paman, andai mereka sanggup menaruh matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan pernah melakukan itu, hingga Allah memenangkan agama (Islam) ini atau aku mati di dalamnya.” (HR Ibn Hisyam).
“Jalan kepayahan” pula yang ditempuh oleh para Sahabat beliau. Bilal bin Rabbah ra., misalnya, dalam keadaan punggungnya telanjang tanpa baju, ia rela dijemur di atas pasir, di bawah terik matahari yang menyengat, lalu ditindih dengan batu. Hal itu beliau jalani demi mempertahankan aqidahnya.
Yasir ra. rela dijerat lehernya dan Sumayyah (istrinya) ra. rela tubuhnya ditusuk dengan tombak hingga keduanya harus kehilangan nyawanya. Hal itu juga dilakukan oleh keduanya demi mempertahankan aqidahnya.
Mushab bin Umair ra. rela meninggalkan harta dan kemewahan serta memilih hidup menderita. Hal itu beliau lakukan demi dan untuk dakwah Islam. Hampir semua Sahabat Rasulullah saw. tak ragu untuk menggadaikan sebagian besar (bukan sebagian kecil) waktu, tenaga, harta bahkan nyawa mereka. Semua “jalan kepayahan” ini mereka tempuh tidak lain demi dan untuk Islam.
Apa dasarnya? Tidak lain dasarnya semata-mata liLaah (karena dan untuk Allah). Karena lilLaah dalam melakukan amal shalih apapun, mereka menjadi tak mudah lelah. Apalagi sampai berkeluh-kesah. Sikap demikian pantang bagi mereka. Yang ada, mereka malah senantiasa bahagia dalam taat meski sering terasa berat! Semoga kita bisa seperti mereka. Aamiin.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah, ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib. []
(Pondok Putri Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor, 29/11/2023).